Indonesia memiliki banyak seni
budaya yang sangat menakjubkan. Itu yang pernah saya dengar dari guru SMA saya.
Saya sendiri juga tidak tahu, apa saja seni budaya yang ada di Indonesia itu. Yang
saya tahu hanyalah Barongan, dari kampung halaman saya sendiri di Blora Jawa
Tengah. Tari kecak, yang pernah saya nikmati saat Study Tour ke Bali waktu SMA.
Dan Reog Ponorogo yang sering berlenggok-lenggok di Televisi.
Hingga akhirnya saya lulus SMA dan
kuliah di salah satu Universitas swasta di Malang. Sebuah Universitas yang
memiliki julukan Multicultural University. Sebelumnya, saya juga tidak tahu,
arti dari “Multicultural university” itu, hingga saya bertemu dengan mahasiswa
yang ada disitu.
Di kampus itu, saya menemui
banyak sekali Mahasiswa yang dari bentuk fisiknya, jarang saya temui di daerah
saya.
Saya melihat seorang wanita
cantik sedang duduk di taman kampus. Wanita dengan raut wajah yang jarang saya
temui sebelumnya. Muka agak bulat, rambut lurus alami, dan kulit putih
mempesona. Mata sipitnya melihat kesebuah laptop di depannya. Setelah beberapa
minggu, akhirnya saya mengetahui, kalau dia adalah perempuan asal Kalimantan.
Saya melihat kesudut lain, tapi
masih di area yang sama. Disana saya melihat sekolompok pria sedang
berbincang-bincang. Mereka memiliki bentuk fisik yang hampir sama. Kulit agak
hitam, muka agak lonjong, dan berambut keriting. Mereka berbicara dengan bahasa
yang aneh. Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya satu kata saja
yang bisa saya tangkap dari pembicaraan mereka. Yaitu Beta. Dari situ saya
menyimpulkan, mungkin mereka adalah para perjaka dari tanah Maluku.
Ada juga seorang pria berbadan
gempal, berkulit hitam, dan berambut lebih keriting lewat didepan saya. Kelihatannya
ia sedang terburu-buru. Mungkin ada urusan yang telah menunggunya.
Walaupun melihatnya hanya sesaat,
dari raut wajah dan postur tubuhnya, saya sangat yakin kalau dia adalah salah
satu putra Papua.
Dari semua itu, akhirnya saya
mengerti, mengapa kampus ini di juluki Multicultural University.
Kampus ini merupakan tempat
berkumpulnya para putra-putri Indonesia dari segala penjuru Tanah Air. Banyak
sekali mahasiswa dari daerah, yang kuliah dikampus ini.
Hal itu terbukti saat malam
inagurasi Program Pengenalan Pendidikan Tinggi (P3T). Ada lebih dari sepuluh
pasang mahasiswa-mahasiswi yang tampil ke atas panggung dengan mengenakankan
pakaian adat daerah mereka masing-masing.
Pakaian mereka sangat cocok
dengan postur tubuh mereka. Mereka begitu serasi. Bagaikan raja dan permaisuri
dari berbagai pelosok negri yang berkumpul dalam satu panggung.
Di antara semua pasangan kerajaan
yang berada di atas panggung, mata saya tertuju pada sang permaisuri dari Jawa
Tengah. Entah karena orangnya, atau pengaruh pakaiannya, ia terlihat begitu
cantik dan anggun.
Wajahnya yang oval sangat cocok
dengan model rambut yang di gelung/dikonde. Ditambah berbagai perhiasan yang
menghiasi rambutnya, membuatnya seperti memakai mahkota dari Surga. Kebaya
bermotif batik yang dikenakannya, begitu pas menempel pada tubuhnya. Saya
tertegun dengan kecantikan yang dipancarkannya. Ah, mungkin pakaian adat dari
kampung halaman sendiri memang paling klop dihati, batin saya.
Kemultikulturan dari kampus ini
tak hanya sampai disitu.
Saya ingat, saat itu saya sedang
menunggu jam kuliah berikutnya. Dari pagi, suasana kampus memang ramai. Saya
tidak tahu, ada kegiatan apa sebenarnya di kampus hari itu.
Saya turun dari gedung tempat
saya kuliah, dan ingin menghabiskan waktu menunggu di taman kampus. Dari taman
kampus, saya dan teman saya, Devit, melihat sebuah pertunjukan yang sangat
mencengangkan di depan gedung rektorat. Ya, itu adalah pentas seni tarian
daerah.
Saya tidak tahu itu tarian daerah
mana. Tapi dari wajah-wajah pemainnya, itu adalah tarian dari daerah timur.
Entah itu Flores, Manggarai, atau Maluku, saya tidak tahu.
Tarian dibuka oleh dua orang pria
berbaju putih, dengan syal seperti sarung mengikat perutnya. Tak lupa, ikat
kepala merah melekat di dahinya. Pria-pria itu, berbaris menyamping, bersama
tiga orang wanita.
Wanita-wanita itu juga berpakaian
sederhana. Berbaju kuning, dirangkap dengan kebaya merah sederhana layaknya
perawan desa. Tak lupa, mereka memegang seperti sapu tangan di kedua tangan
mereka.
Mereka berlima saling
merentangkan tangan dan menggerak-gerakan kakinya secara bergantian.
Dengan iringan musik seperti
suara gendering tapi bukan genderang, seperti suara drum tapi bukan drum, saya
tidak tau itu suara alat musik apa, mungkin alat musik khas daerah mereka,
mereka mengayun-menyunkan tangan mereka yang masih merentang, layaknya burung
yang sedang mengepak-ngepakkan sayap untuk terbang ke angkasa.
Dengan bergerak bak seekor
burung, mereka berbaris melingkar. Saling berhadapan satu sama lain. Kemudian,
tangan kanan mereka disatukan di tengah lingkaran. Layaknya pemain sepak bola
sebelum masuk ke lapangan dan memulai pertandingan.
Senada dengan irama musik, mereka
mulai berjalan melingkar dengan tangan kanan masih menyatu ditengah. Gerakan
sederhana, namun terlihat begitu indah.
Bebarengan dengan berhentinya musik,
tangan yang menyatu ditengah, mereka angkat secara serempak. Sejenak, suasana
menjadi hening. Hingga musik kembali menyala, beberapa saat kemudian.
Kali ini, musiknya sangat berbeda
dengan yang pertama. Musik yang kedua ini terdengar sepertinya suara alat musik
daerah sana yang cara kerjanya mirip kentongan, ditambah suara seruling yang
begitu menentramkan. Sejenak, perasaan saya terhembas seakan merasakan suasana
pedesaan yang begitu permai.
Bersamaan dengan diputarnya lagu
yang berbau aroma pedesaan itu, kedua pria langsung menari berhadapan dan
saling berpegangan tangan. Kedua tangan mereka yang saling berpegangan itu
mereka angkat, dan penari-penari wanita pun berjalan sambil menari masuk
kesela-sela tangan dari kedua penari pria.
Saya tertegun. Tarian mereka
mengingatkan saya pada apa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Tarian mereka
layaknya anak-anak pedesaan yang sedang asyik bermain. Pikiran saya hanyut
mengingat kembali masa-masa kecil saya. Saya merasa seakan bernostalgia dengan
kenangan indah masa lalu. Menyejukkan hati. Menentramkan jiwa.
Saya menikmati sekali tarian itu.
Sepertinya, Devit juga sangat menikmatinya. “Keren ya, Vit?”, celetuk saya.
Devit tak menjawab apa-apa. Ia
hanya mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda setuju, dengan mata masih
tertuju pada pertunjukan tari itu. Ah, sepertinya, ia mulai ketagian dengan
tarian ini, pikir saya.
Mata saya kembali menuju ke
putra-putri daerah timur yang sedang berlenggak-lenggok di arena pertunjukan.
Mereka kembali berbaris
menyamping. Dengan iringan musik yang sama, mereka menari maju mundur secara
bergantian. Sebuah tarian yang begitu pas menggambarkan suasana pedesaan yang
begitu menentramkan.
Kemudian musik pun berganti. Kali
ini tak hanya musik, tapi turut menghadirkan nyanyian yang bersenandung
beriringan dengan musik tersebut. Bahasa nyanyian itu pun sangat aneh.
Sepertinya salah satu lagu daerah mereka.
Bebarengan dengan bergantinya
musik, ada sekitar 14 wanita muncul dari belakang. Wanita-wanita itu mengenakan
pakaian warna merah muda dengan model pakaian yang jarang saya lihat. Mungkin
itu pakaian khas dari sana. Saya tidak tahu pasti.
Mereka berjejer menjadi dua
baris, dan masuk ke arena pertunjukan sambil menari. Sedangkan kelima penari
yang masih berjejer menyamping, masih menggoyangkan tubuh sambil berjalan
kebelakang. Sehingga, sekarang para menari membentuk formasi seperti huruf U.
Mereka seakan menikmati lagu
daerah itu. Mereka berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan, mengitu irama yang
didendangkan hingga lagunya habis.
Saat itu, saya kira tariannya
juga sudah habis. Tapi, lagi-lagi saya tercengang. Kali ini, ada suara
seseorang berteriak. Teriakan yang panjang seperti mengisyaratkan sesuatu.
Benar saja, belum selesai
teriakan panjang itu, ada seorang pria berlari dari belakang. Ia mengenakan
kaos putih, serta membawa parang di tangan kanannya, dan tombak ditangan
kirinya. Kemudian ia berdiri di depan.
Tak lama kemudian, datang juga 8 orang
pria memakai pakaian yang hampir sama, naman mereka tak membawa parang ataupun
tombak, melainkan membawa panah dan busurnya. Mereka lari keliling arena
pertunjukan, kemudian berbaris menjadi dua baris, ditengah-tengah formasi U
yang telah dibuat penari sebelumnya.
Terakhir, datang pula dua orang
dengan parang dan perisai khas daerah timur ditangan mereka. Mereka mengitari
para penari lain dan berdiri di kiri dan kanan pria yang membawa parang dan
tombak. Sepertinya, tarian ini memiliki alur cerita. Walaupun saya sendiri
tidak tahu, jalan ceritanya bagaimana.
Musiknya pun berubah lagi. Kali
ini, musik khas perang bersenandung mengiringi para penari. Secara serentak,
semuanya mulai menggerakkan badannya. Tapi, diantara semua penari, saya
tertarik dengan tarian tiga pria yang ada didepan.
Mereka mengayun-ayunkan parang
dengan gemulainya. Saya tidak pernah menyangka, parang, tombak, dan perisai
perang juga bisa terlihat indah jika dimainkan oleh ahlinya.
Tak mau kalah, para pria yang
membawa panah pun mulai memainkan alat perang yang mereka pegang. Sebuah tarian
perang yang menakjubkan. Saya sangat menikmati tarian indah itu, hingga iringan
musik peperangan itu berakhir.
Walaupun musiknya sudah berakhir,
ternyata mereka tidak langsung membubarkan diri begitu saja. Sebuah lagu daerah
mulai dimainkan kembali. Lagu daerah ini tak kalah merdu dengan lagu yang tadi.
Tapi masih sama, bahasa yang dipakai dalam lagu ini tidak bisa saya tangkap
artinya. Hanya satu lirik saja yang terlihat menonjol disana: “Rasa
Sayangkane”. Saat itu saya mengira kalau lagu itu adalah lagu daerah yang
sempat menjadi kontroversi dengan Negara tetangga. Pantas saja lagu ini menjadi
kontroversi, lagunya sangat nyaman ditelinga, pikir saya. Tapi, setelah saya
ingin mendownload lagu itu, ternyata lagunya berbeda.
Dengan iringan lagu itu, para
menari bergabung menjadi dua baris. Tentu saja, tubuh mereka masih dengan
gemulainya mengikuti irama. Setelah tergabung menjadi dua baris, mereka berlenggak-lenggok
meninggalkan panggung. Ya, pertunjukan sudah berakhir. Dan penonton menyambut
mereka dengan tepuk tangan yang meriah sebagai apresiasi atas kepuasan mereka
terhadap para penari.
Walaupun tarian dari timur sudah
selesai, sepertinya pertunjukan ini belum juga usai. Musiknya mulai
didendangkan kembali. Beda dengan yang tadi, musik kali ini sangat familiar di
telinga saya. Ya, itu adalah alunan gamelan.
Bersamaan dengan dinyalakannya
musik, muncul seorang gadis cantik yang berjalan mengitari arena pertunjukan. Dia
memakai kemban ke’emasan dan tapih berwarna hijau. Serta sebuah selendang biru
bermotif batik tersampir indah dipundak kirinya.
Di atas kepalanya berikhrar
sebuah hiasan ke’emasan seperti mahkota, tapi bukan mahkota, yang bersanding
dengan bunga merah muda. Rambut panjangnya terurai melewati bahu kanannya. Ah,
dia terlihat begitu cantik dan anggun.
Kedua tangan gadis itu memegang
mangkuk berisi bunga. Kalau saya lihat, itu seperti sesaji yang ada di Bali.
Apa munggkin ini tarian dari Bali? Sepertinya begitu. Dari pakaiannya pun,
terlihat seperti pakaian warga bali.
“Ini tarian Bali ya?”, celetuk
saya.
“Kamu tidak tahu Ji?”, sahut Devit,
“Ini tari Pendet, dari Bali”
Tari Pendet? Sepertinya sudah tak
asing lagi nama tari itu di telinga saya. Tapi saya rasa, saya belum pernah
menyaksikan tari itu sebelumnya. Dan kali ini, kesempatan saya untuk menikmati
tarian terkenal itu.
Menurut saya, tari pendet ini
berbeda sekali dengan tari pertama. Kalau tari dari daerah timur tadi
menampilkan sebuah cerita peperangan dan kesederhanaan yang menentramkan, tari
Pendet ini lebih mengutamakan keluwesan dan keanggunan gerakan.
Setelah puas berlenggak-lenggok
mengelilingi arena, sang penari berhenti di tengah panggung sesuai dengan irama
gamelan. Dan dia mulai menarikan gerakan inti.
Gadis itu menari sangat anggun.
Sesaji yang di pegangnya, dimain-mainkan oleh tangan kirinya. Tangan kanannya
juga tak mau kalah. Tangan kanannya ia gerak-gerakkan dengan gemulainya.
Jemarinya pun ikut serta dalam menambah keanggunan gerakannya.
Keanggunan gerakan sang penari
tak hanya sampai disitu. Semua tubuh sang gadis bergerak dengan luwesnya.
Bahkan, mata indahnya pun ikut bergoyang mengikuti irama gamelan.
Ah, pantas saja tarian ini sangat
terkenal. Sangat Indah. Batin saya.
Sayang, saya tak bisa menikmati
tarian itu sampai selesai. Dosen yang saya tunggu sudah datang. Dengan berat
hati, saya masuk ke dalam kelas, dan melewatkan pertunjukan indah didepan saya.
Dengan semua keaneragaman di kampus
saya, saya jadi terpikir: seberapa banyak warna-warni yang ada dinegri ini?
Padahal, kampus saya hanyalah bagian kecil dari Indonesia.
Di kampus kecil saya, saya sudah
menemui banyak karakter fisik yang beraneka ragam. Beberapa pakaian adat yang
mengagumkan, dan beberapa tarian daerah yang sangat menakjubkan.
Terus, bagaimana dengan
warna-warni Indonesia yang sebenarnya? Padahal, setiap daerah di Indonesia
memiliki pakaian dan tarian adat masing-masing. Dan tak kalah penting, daerah
di Indonesia juga memiliki alat musik dan lagu daerah sendiri yang sangat merdu
bak nyanyian surga.
Itu baru dari segi kesenian saja,
belum termasuk makanan khas daerah, ataupun tempat wisata alam yang ada di
negri ini.
Kalau membicarakan wisata alam,
Indonesia merupakan pilihan utama yang harus dituju oleh wisatawan. Pasalnya,
dari dasar laut, sampai puncak gunung, Indonesia memiliki kekayaan alam yang
sangat menakjubkan.
Terumbu karang yang telah menunggu
untuk diselami, pantai dengan ombak yang
melambai-lambai untuk dinaiki, serta puncak gunung yang siap untuk didaki.
Selain itu, Indonesia masih punya
tempat wisata berupa Air terjun, danau, lembah, hutan lindung, cagar alam,
bangunan bersejarah, dan masih banyak lagi tempat wisata yang ada di Indonesia
yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
Dari semua obyek wisata yang
Indah di Indonesia, saya pernah mengunjungi salah satu dianataranya, yaitu
gunung Semeru.
Sebenarnya, saat itu saya tidak
punya niat untuk naik ke puncak Mahameru, puncak tertinggi dari gunung Semeru.
Saya dan empat teman saya, hanya berniat untuk menikmati Ranu Kumbolo, yang
katanya surganya gunung Semeru.
Dari desa terakhir, desa Ranu
Pane, kami harus berjalan kaki selama lebih dari 4 jam untuk mencapai surga
itu. Perjalanan yang sangat melelahkan, apalagi punggung kami terbebani oleh
peralatan berkemah dan makanan untuk hidup disana.
Perjalanan melelahkan selama 4
jam itu akhirnya terobati dengan pemandangan Indah di depan kami. Pemandangan
yang dari atas bukit, terlihat begitu eksotis.
Mata saya tak henti-hentinya terpesona oleh danau alami berwarna hijau
yang ada di depan saya. Sungguh ciptaan Tuhan yang sempurna. Tidak salah kalau
orang-orang menyebutnya surga.
Seperti apa yang dikatakan oleh
orang sebrang, keindahan merupakan kekuatan. Berkat keindahan Ranu Kumbolo,
rasa lelah yang melanda kami seakan musnah. Ditambah air dingin alami dari
dalam danau, membuat tubuh kami seakan prima kembali.
Karena merasa prima, kami tak
jadi mendirikan tenda disitu. Kami berniat untuk melanjutkan kembali perjalanan
kami sampai puncak Mahameru. Dan waktu pun juga masih menunjukan pukul setengah
tiga siang. Cukup bagi kami untuk sampai ke pos selanjutnya di Kalimati.
Dengan tekat membara, kami segera
melanjutkan perjalanan. Tapi, baru melangkah beberapa meter, kami sudah
dihadapkan oleh tanjakan yang cukup tinggi.
Bagi yang pernah kesana, pasti
tahu tanjakan ini. Ya, tanjakan cinta. Sebuah tempat unik dengan mitos romantis
layaknya gembok cinta di Paris ataupun koin cinta di Roma. Konon katanya,
sepasang kekasih yang naik ke atas tanjakan ini tanpa berhenti dan tanpa
menengok ke belakang, cinta mereka akan abadi sampai akhir hayat mereka.
Sedangkan jika menaiki tanjakan cinta itu sendirian, tanpa berhenti dan tanpa
menengok kebelakang, ia akan segera dipertemukan dengan cinta sejatinya.
Thanks for reading & sharing Informasi dan Opini Terlengkap
0 komentar:
Posting Komentar