Daftar Materi » » MULTICULTURAL UNIVERSITY: Secuil dari Warna-Warni di Indonesia

MULTICULTURAL UNIVERSITY: Secuil dari Warna-Warni di Indonesia

Posted by Informasi dan Opini Terlengkap on Selasa, 22 Mei 2018


Indonesia memiliki banyak seni budaya yang sangat menakjubkan. Itu yang pernah saya dengar dari guru SMA saya. Saya sendiri juga tidak tahu, apa saja seni budaya yang ada di Indonesia itu. Yang saya tahu hanyalah Barongan, dari kampung halaman saya sendiri di Blora Jawa Tengah. Tari kecak, yang pernah saya nikmati saat Study Tour ke Bali waktu SMA. Dan Reog Ponorogo yang sering berlenggok-lenggok di Televisi.
Hingga akhirnya saya lulus SMA dan kuliah di salah satu Universitas swasta di Malang. Sebuah Universitas yang memiliki julukan Multicultural University. Sebelumnya, saya juga tidak tahu, arti dari “Multicultural university” itu, hingga saya bertemu dengan mahasiswa yang ada disitu.
Di kampus itu, saya menemui banyak sekali Mahasiswa yang dari bentuk fisiknya, jarang saya temui di daerah saya.
Saya melihat seorang wanita cantik sedang duduk di taman kampus. Wanita dengan raut wajah yang jarang saya temui sebelumnya. Muka agak bulat, rambut lurus alami, dan kulit putih mempesona. Mata sipitnya melihat kesebuah laptop di depannya. Setelah beberapa minggu, akhirnya saya mengetahui, kalau dia adalah perempuan asal Kalimantan.
Saya melihat kesudut lain, tapi masih di area yang sama. Disana saya melihat sekolompok pria sedang berbincang-bincang. Mereka memiliki bentuk fisik yang hampir sama. Kulit agak hitam, muka agak lonjong, dan berambut keriting. Mereka berbicara dengan bahasa yang aneh. Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya satu kata saja yang bisa saya tangkap dari pembicaraan mereka. Yaitu Beta. Dari situ saya menyimpulkan, mungkin mereka adalah para perjaka dari tanah Maluku.
Ada juga seorang pria berbadan gempal, berkulit hitam, dan berambut lebih keriting lewat didepan saya. Kelihatannya ia sedang terburu-buru. Mungkin ada urusan yang telah menunggunya.
Walaupun melihatnya hanya sesaat, dari raut wajah dan postur tubuhnya, saya sangat yakin kalau dia adalah salah satu putra Papua.
Dari semua itu, akhirnya saya mengerti, mengapa kampus ini di juluki Multicultural University.
Kampus ini merupakan tempat berkumpulnya para putra-putri Indonesia dari segala penjuru Tanah Air. Banyak sekali mahasiswa dari daerah, yang kuliah dikampus ini.
Hal itu terbukti saat malam inagurasi Program Pengenalan Pendidikan Tinggi (P3T). Ada lebih dari sepuluh pasang mahasiswa-mahasiswi yang tampil ke atas panggung dengan mengenakankan pakaian adat daerah mereka masing-masing.
Pakaian mereka sangat cocok dengan postur tubuh mereka. Mereka begitu serasi. Bagaikan raja dan permaisuri dari berbagai pelosok negri yang berkumpul dalam satu panggung.
Di antara semua pasangan kerajaan yang berada di atas panggung, mata saya tertuju pada sang permaisuri dari Jawa Tengah. Entah karena orangnya, atau pengaruh pakaiannya, ia terlihat begitu cantik dan anggun.
Wajahnya yang oval sangat cocok dengan model rambut yang di gelung/dikonde. Ditambah berbagai perhiasan yang menghiasi rambutnya, membuatnya seperti memakai mahkota dari Surga. Kebaya bermotif batik yang dikenakannya, begitu pas menempel pada tubuhnya. Saya tertegun dengan kecantikan yang dipancarkannya. Ah, mungkin pakaian adat dari kampung halaman sendiri memang paling klop dihati, batin saya.
Kemultikulturan dari kampus ini tak hanya sampai disitu.
Saya ingat, saat itu saya sedang menunggu jam kuliah berikutnya. Dari pagi, suasana kampus memang ramai. Saya tidak tahu, ada kegiatan apa sebenarnya di kampus hari itu.
Saya turun dari gedung tempat saya kuliah, dan ingin menghabiskan waktu menunggu di taman kampus. Dari taman kampus, saya dan teman saya, Devit, melihat sebuah pertunjukan yang sangat mencengangkan di depan gedung rektorat. Ya, itu adalah pentas seni tarian daerah.
Saya tidak tahu itu tarian daerah mana. Tapi dari wajah-wajah pemainnya, itu adalah tarian dari daerah timur. Entah itu Flores, Manggarai, atau Maluku, saya tidak tahu.
Tarian dibuka oleh dua orang pria berbaju putih, dengan syal seperti sarung mengikat perutnya. Tak lupa, ikat kepala merah melekat di dahinya. Pria-pria itu, berbaris menyamping, bersama tiga orang wanita.
Wanita-wanita itu juga berpakaian sederhana. Berbaju kuning, dirangkap dengan kebaya merah sederhana layaknya perawan desa. Tak lupa, mereka memegang seperti sapu tangan di kedua tangan mereka.
Mereka berlima saling merentangkan tangan dan menggerak-gerakan kakinya secara bergantian.
Dengan iringan musik seperti suara gendering tapi bukan genderang, seperti suara drum tapi bukan drum, saya tidak tau itu suara alat musik apa, mungkin alat musik khas daerah mereka, mereka mengayun-menyunkan tangan mereka yang masih merentang, layaknya burung yang sedang mengepak-ngepakkan sayap untuk terbang ke angkasa.
Dengan bergerak bak seekor burung, mereka berbaris melingkar. Saling berhadapan satu sama lain. Kemudian, tangan kanan mereka disatukan di tengah lingkaran. Layaknya pemain sepak bola sebelum masuk ke lapangan dan memulai pertandingan.
Senada dengan irama musik, mereka mulai berjalan melingkar dengan tangan kanan masih menyatu ditengah. Gerakan sederhana, namun terlihat begitu indah.
Bebarengan dengan berhentinya musik, tangan yang menyatu ditengah, mereka angkat secara serempak. Sejenak, suasana menjadi hening. Hingga musik kembali menyala, beberapa saat kemudian.
Kali ini, musiknya sangat berbeda dengan yang pertama. Musik yang kedua ini terdengar sepertinya suara alat musik daerah sana yang cara kerjanya mirip kentongan, ditambah suara seruling yang begitu menentramkan. Sejenak, perasaan saya terhembas seakan merasakan suasana pedesaan yang begitu permai.
Bersamaan dengan diputarnya lagu yang berbau aroma pedesaan itu, kedua pria langsung menari berhadapan dan saling berpegangan tangan. Kedua tangan mereka yang saling berpegangan itu mereka angkat, dan penari-penari wanita pun berjalan sambil menari masuk kesela-sela tangan dari kedua penari pria.
Saya tertegun. Tarian mereka mengingatkan saya pada apa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Tarian mereka layaknya anak-anak pedesaan yang sedang asyik bermain. Pikiran saya hanyut mengingat kembali masa-masa kecil saya. Saya merasa seakan bernostalgia dengan kenangan indah masa lalu. Menyejukkan hati. Menentramkan jiwa.
Saya menikmati sekali tarian itu. Sepertinya, Devit juga sangat menikmatinya. “Keren ya, Vit?”, celetuk saya.
Devit tak menjawab apa-apa. Ia hanya mengangguk-anggukan kepala sebagai tanda setuju, dengan mata masih tertuju pada pertunjukan tari itu. Ah, sepertinya, ia mulai ketagian dengan tarian ini, pikir saya.
Mata saya kembali menuju ke putra-putri daerah timur yang sedang berlenggak-lenggok di arena pertunjukan.
Mereka kembali berbaris menyamping. Dengan iringan musik yang sama, mereka menari maju mundur secara bergantian. Sebuah tarian yang begitu pas menggambarkan suasana pedesaan yang begitu menentramkan.
Kemudian musik pun berganti. Kali ini tak hanya musik, tapi turut menghadirkan nyanyian yang bersenandung beriringan dengan musik tersebut. Bahasa nyanyian itu pun sangat aneh. Sepertinya salah satu lagu daerah mereka.
Bebarengan dengan bergantinya musik, ada sekitar 14 wanita muncul dari belakang. Wanita-wanita itu mengenakan pakaian warna merah muda dengan model pakaian yang jarang saya lihat. Mungkin itu pakaian khas dari sana. Saya tidak tahu pasti.
Mereka berjejer menjadi dua baris, dan masuk ke arena pertunjukan sambil menari. Sedangkan kelima penari yang masih berjejer menyamping, masih menggoyangkan tubuh sambil berjalan kebelakang. Sehingga, sekarang para menari membentuk formasi seperti huruf U.
Mereka seakan menikmati lagu daerah itu. Mereka berlenggak-lenggok ke kiri dan ke kanan, mengitu irama yang didendangkan hingga lagunya habis.
Saat itu, saya kira tariannya juga sudah habis. Tapi, lagi-lagi saya tercengang. Kali ini, ada suara seseorang berteriak. Teriakan yang panjang seperti mengisyaratkan sesuatu.
Benar saja, belum selesai teriakan panjang itu, ada seorang pria berlari dari belakang. Ia mengenakan kaos putih, serta membawa parang di tangan kanannya, dan tombak ditangan kirinya. Kemudian ia berdiri di depan.
Tak lama kemudian, datang juga 8 orang pria memakai pakaian yang hampir sama, naman mereka tak membawa parang ataupun tombak, melainkan membawa panah dan busurnya. Mereka lari keliling arena pertunjukan, kemudian berbaris menjadi dua baris, ditengah-tengah formasi U yang telah dibuat penari sebelumnya.
Terakhir, datang pula dua orang dengan parang dan perisai khas daerah timur ditangan mereka. Mereka mengitari para penari lain dan berdiri di kiri dan kanan pria yang membawa parang dan tombak. Sepertinya, tarian ini memiliki alur cerita. Walaupun saya sendiri tidak tahu, jalan ceritanya bagaimana.
Musiknya pun berubah lagi. Kali ini, musik khas perang bersenandung mengiringi para penari. Secara serentak, semuanya mulai menggerakkan badannya. Tapi, diantara semua penari, saya tertarik dengan tarian tiga pria yang ada didepan.
Mereka mengayun-ayunkan parang dengan gemulainya. Saya tidak pernah menyangka, parang, tombak, dan perisai perang juga bisa terlihat indah jika dimainkan oleh ahlinya.
Tak mau kalah, para pria yang membawa panah pun mulai memainkan alat perang yang mereka pegang. Sebuah tarian perang yang menakjubkan. Saya sangat menikmati tarian indah itu, hingga iringan musik peperangan itu berakhir.
Walaupun musiknya sudah berakhir, ternyata mereka tidak langsung membubarkan diri begitu saja. Sebuah lagu daerah mulai dimainkan kembali. Lagu daerah ini tak kalah merdu dengan lagu yang tadi. Tapi masih sama, bahasa yang dipakai dalam lagu ini tidak bisa saya tangkap artinya. Hanya satu lirik saja yang terlihat menonjol disana: “Rasa Sayangkane”. Saat itu saya mengira kalau lagu itu adalah lagu daerah yang sempat menjadi kontroversi dengan Negara tetangga. Pantas saja lagu ini menjadi kontroversi, lagunya sangat nyaman ditelinga, pikir saya. Tapi, setelah saya ingin mendownload lagu itu, ternyata lagunya berbeda.
Dengan iringan lagu itu, para menari bergabung menjadi dua baris. Tentu saja, tubuh mereka masih dengan gemulainya mengikuti irama. Setelah tergabung menjadi dua baris, mereka berlenggak-lenggok meninggalkan panggung. Ya, pertunjukan sudah berakhir. Dan penonton menyambut mereka dengan tepuk tangan yang meriah sebagai apresiasi atas kepuasan mereka terhadap para penari.
Walaupun tarian dari timur sudah selesai, sepertinya pertunjukan ini belum juga usai. Musiknya mulai didendangkan kembali. Beda dengan yang tadi, musik kali ini sangat familiar di telinga saya. Ya, itu adalah alunan gamelan.
Bersamaan dengan dinyalakannya musik, muncul seorang gadis cantik yang berjalan mengitari arena pertunjukan. Dia memakai kemban ke’emasan dan tapih berwarna hijau. Serta sebuah selendang biru bermotif batik tersampir indah dipundak kirinya.
Di atas kepalanya berikhrar sebuah hiasan ke’emasan seperti mahkota, tapi bukan mahkota, yang bersanding dengan bunga merah muda. Rambut panjangnya terurai melewati bahu kanannya. Ah, dia terlihat begitu cantik dan anggun.
Kedua tangan gadis itu memegang mangkuk berisi bunga. Kalau saya lihat, itu seperti sesaji yang ada di Bali. Apa munggkin ini tarian dari Bali? Sepertinya begitu. Dari pakaiannya pun, terlihat seperti pakaian warga bali.
“Ini tarian Bali ya?”, celetuk saya.
“Kamu tidak tahu Ji?”, sahut Devit, “Ini tari Pendet, dari Bali”
Tari Pendet? Sepertinya sudah tak asing lagi nama tari itu di telinga saya. Tapi saya rasa, saya belum pernah menyaksikan tari itu sebelumnya. Dan kali ini, kesempatan saya untuk menikmati tarian terkenal itu.
Menurut saya, tari pendet ini berbeda sekali dengan tari pertama. Kalau tari dari daerah timur tadi menampilkan sebuah cerita peperangan dan kesederhanaan yang menentramkan, tari Pendet ini lebih mengutamakan keluwesan dan keanggunan gerakan.
Setelah puas berlenggak-lenggok mengelilingi arena, sang penari berhenti di tengah panggung sesuai dengan irama gamelan. Dan dia mulai menarikan gerakan inti.
Gadis itu menari sangat anggun. Sesaji yang di pegangnya, dimain-mainkan oleh tangan kirinya. Tangan kanannya juga tak mau kalah. Tangan kanannya ia gerak-gerakkan dengan gemulainya. Jemarinya pun ikut serta dalam menambah keanggunan gerakannya.
Keanggunan gerakan sang penari tak hanya sampai disitu. Semua tubuh sang gadis bergerak dengan luwesnya. Bahkan, mata indahnya pun ikut bergoyang mengikuti irama gamelan.
Ah, pantas saja tarian ini sangat terkenal. Sangat Indah. Batin saya.
Sayang, saya tak bisa menikmati tarian itu sampai selesai. Dosen yang saya tunggu sudah datang. Dengan berat hati, saya masuk ke dalam kelas, dan melewatkan pertunjukan indah didepan saya.
Dengan semua keaneragaman di kampus saya, saya jadi terpikir: seberapa banyak warna-warni yang ada dinegri ini? Padahal, kampus saya hanyalah bagian kecil dari Indonesia.
Di kampus kecil saya, saya sudah menemui banyak karakter fisik yang beraneka ragam. Beberapa pakaian adat yang mengagumkan, dan beberapa tarian daerah yang sangat menakjubkan.
Terus, bagaimana dengan warna-warni Indonesia yang sebenarnya? Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki pakaian dan tarian adat masing-masing. Dan tak kalah penting, daerah di Indonesia juga memiliki alat musik dan lagu daerah sendiri yang sangat merdu bak nyanyian surga.
Itu baru dari segi kesenian saja, belum termasuk makanan khas daerah, ataupun tempat wisata alam yang ada di negri ini.
Kalau membicarakan wisata alam, Indonesia merupakan pilihan utama yang harus dituju oleh wisatawan. Pasalnya, dari dasar laut, sampai puncak gunung, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat menakjubkan.
Terumbu karang yang telah menunggu untuk diselami, pantai  dengan ombak yang melambai-lambai untuk dinaiki, serta puncak gunung yang siap untuk didaki.
Selain itu, Indonesia masih punya tempat wisata berupa Air terjun, danau, lembah, hutan lindung, cagar alam, bangunan bersejarah, dan masih banyak lagi tempat wisata yang ada di Indonesia yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
Dari semua obyek wisata yang Indah di Indonesia, saya pernah mengunjungi salah satu dianataranya, yaitu gunung Semeru.
Sebenarnya, saat itu saya tidak punya niat untuk naik ke puncak Mahameru, puncak tertinggi dari gunung Semeru. Saya dan empat teman saya, hanya berniat untuk menikmati Ranu Kumbolo, yang katanya surganya gunung Semeru.
Dari desa terakhir, desa Ranu Pane, kami harus berjalan kaki selama lebih dari 4 jam untuk mencapai surga itu. Perjalanan yang sangat melelahkan, apalagi punggung kami terbebani oleh peralatan berkemah dan makanan untuk hidup disana.
Perjalanan melelahkan selama 4 jam itu akhirnya terobati dengan pemandangan Indah di depan kami. Pemandangan yang dari atas bukit, terlihat begitu eksotis.  Mata saya tak henti-hentinya terpesona oleh danau alami berwarna hijau yang ada di depan saya. Sungguh ciptaan Tuhan yang sempurna. Tidak salah kalau orang-orang menyebutnya surga.
Seperti apa yang dikatakan oleh orang sebrang, keindahan merupakan kekuatan. Berkat keindahan Ranu Kumbolo, rasa lelah yang melanda kami seakan musnah. Ditambah air dingin alami dari dalam danau, membuat tubuh kami seakan prima kembali.
Karena merasa prima, kami tak jadi mendirikan tenda disitu. Kami berniat untuk melanjutkan kembali perjalanan kami sampai puncak Mahameru. Dan waktu pun juga masih menunjukan pukul setengah tiga siang. Cukup bagi kami untuk sampai ke pos selanjutnya di Kalimati.
Dengan tekat membara, kami segera melanjutkan perjalanan. Tapi, baru melangkah beberapa meter, kami sudah dihadapkan oleh tanjakan yang cukup tinggi.
Bagi yang pernah kesana, pasti tahu tanjakan ini. Ya, tanjakan cinta. Sebuah tempat unik dengan mitos romantis layaknya gembok cinta di Paris ataupun koin cinta di Roma. Konon katanya, sepasang kekasih yang naik ke atas tanjakan ini tanpa berhenti dan tanpa menengok ke belakang, cinta mereka akan abadi sampai akhir hayat mereka. Sedangkan jika menaiki tanjakan cinta itu sendirian, tanpa berhenti dan tanpa menengok kebelakang, ia akan segera dipertemukan dengan cinta sejatinya.

Thanks for reading & sharing Informasi dan Opini Terlengkap

Previous
« Prev Post

0 komentar:

Posting Komentar

Info dan Opini Terpopuler